Konsisten : Menciptakan Guru-guru Prima yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang mutu pendidikan
Pernahkah Anda membaca atau mendengar kisah Liliput? Kisah tentang
seorang pria Liliput yang ingin menggelindingkan sebuah batu ke
puncak bukit. Namun batu itu tidak pernah sampai ke puncak. Begitulah
kisah tentang sistem pendidikan Indonesia. Ganti rezim ganti sistem,
ganti menteri ganti kebijakan. Selalu dimulai dari awal lagi. Kebanyakan
kandas di tengah jalan.
Pemerintah reformasi sudah mengganti
kurikulum SD-SMP-SMA-SMK dari CBSA 1994 (Cara Belajar Siswa Aktif) ke
KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Tidak hanya kurikulum yang selalu
berubah. Nama departemennya pun berubah sesuai selera rezim yang
berkuasa. Di zaman Orla: Departemen Pendidikan dan Pengajaran, Orba:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan Orref: Departemen Pendidikan
Nasional. Pergantian nama membawa perubahan sistem dan substansi
pendidikan.
Mata pelajaran yang elementer pun sering jadi korban.
Misalnya, mata pelajaran Kebangsaan (Civic), Sejarah Nasional,
Kebudayaan Nasional dan Budi Pekerti, dewasa ini tidak ditemukan lagi.
Semestinya mata pelajaran tersebut dipertahankan untuk memelihara
kesadaran berbangsa bagi setiap generasi baru Indonesia.Dewasa ini,
Departemen Pendidikan Nasional—muara dari sistem pendidikan
bangsa—berencana merevisi KBK atau Kurikulum 2004. Kurikulum
reformasi ini diterapkan tidak lama setelah Bambang Sudibyo ditunjuk sebagai Mendiknas. KBK sudah diuji coba di sejumlah sekolah. Kurang berhasil.
Karena
itu, UU Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan pembentukan Badan
Standardisasi Pendidikan Nasional (BSPN) untuk merevisi KBK agar bisa
diterapkan di sekolah-sekolah pemerintah dan swasta di seluruh
Indonesia. KBK memuat 16 mata pelajaran dengan jam belajar lebih dari
1.000 jam setahun. Langkah pertama pimpinan BSPN Prof. Dr. Bambang
Suhendro adalah memangkas jam belajar mengajar—SD cukup 35 menit, SMP 40
menit, sedangkan SMA dan SMK 45 menit per mata pelajaran.
Saat
ini memang anak-anak kelebihan muatan, selain materi pelajarannya
terlampau rumit, juga terlalu banyak (16 mata pelajaran). Tentu orang
tua sangat terbeban karena harus membeli banyak buku dan keperluan
lainnya.
Apa pun bentuk kurikulum atau perubahan yang dilakukan
oleh pemerintah, guru tetap menempati posisi sentral untuk pencapaian
tingkat kecerdasan anak didik. Namun citra guru yang seharusnya kompeten
dan berwibawa, terkikis oleh rendahnya pendapatan dan kesejahteraan
mereka. Sedangkan guru menjadi barometer maju atau mundurnya mutu
pendidikan. Paling tidak, ada lima varian untuk memperoleh guru yang
benar-benar prima; dedikasi, tingkat kesejahteraan, kompetensi dan
sistem pengangkatan.
Seorang guru harus memiliki dedikasi tinggi
pada tugas utamanya. Karena itu gaji dan tunjangan kesejahteraannya
harus mencukupi kebutuhan layak, sehingga dia tidak bekerja sambilan
yang bisa mengganggu konsentrasinya mengajar. Dia sendiri harus memiliki
kompetensi jika ingin menghasilkan anak didik yang kompeten. Dan dalam
pengangkatan seorang guru harus benar-benar obyektif, berdasarkan
jurusan pendidikan dan kompetensinya—bukan lantaran koneksi, apalagi
sogokan.
Pada era 1950-an, guru sekolah rakyat (SR) harus datang
ke sawah atau ladang untuk menggiring murid masuk sekolah. Karena, pada
musim tanam dan panen padi banyak kelas yang kosong. Kilas balik ini
hanya untuk menggambarkan betapa besarnya pengabdian guru, dan betapa
rendahnya kesadaran orang tua, meskipun sekolah serba gratis.
Sekarang,
sebagian besar guru di kota punya pekerjaan sampingan, memberi les
privat atau mengajar rangkap di sekolah-sekolah lain, bahkan ada yang
jadi tukang ojek. Guru di desa juga bekerja sambilan sebagai tukang
ojek, petani atau pedagang. Mereka tidak meneladani para pendahulunya.
Pengabdian guru rendah, tetapi orang tua murid punya kesadaran sangat
tinggi untuk menyekolahkan anak mereka. Kendalanya, tingginya biaya
pendidikan yang tak terjangkau oleh kantong mereka. Dampaknya, sama saja
antara dulu dan sekarang—banyak anak usia sekolah yang tidak menikmati
bangku sekolah atau keluar dari sekolah sebelum waktunya.
Idealnya,
negara menanggung biaya pendidikan anak-anak dari SD sampai SMA.
Kebijakan ini bisa menjembatani jurang ketidakadilan di sektor
pendidikan. Karena hanya anak-anak keluarga kaya yang bisa mencapai
pendidikan setinggi-tingginya. Sedangkan anak-anak keluarga miskin,
paling tinggi tamat SMP, kebanyakan tamat SD.
Belum lama ini,
tersebar berita gembira. Ada kesepakatan antara pemerintah pusat dan
daerah—provinsi, kabupaten dan kota—untuk bersama-sama menanggung biaya
pendidikan, paling tidak, dari SD sampai SMA dan SMK. Tetapi yang perlu
diawasi oleh pemerintah dan DPR agar pendidikan benar-benar gratis.
Jangan lagi ada alasan untuk mengenakan berbagai pungutan kepada orang
tua murid.
Kalau ingin memperbaiki mutu pendidikan, pemerintah,
paling tidak, harus memperhatikan empat hal: ciptakan guru-guru yang
prima, batasi jumlah siswa, paling banyak, 20 per kelas, kurangi jam
belajar, cukupi sarana dan prasarana. Tetapi pemerintah sendiri harus
konsisten berpegang pada sistem pendidikan yang berkesinambungan.
(Berita Indonesia 13)***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar