Kamis, 13 Desember 2012

MUTU PENDIDIKAN

Konsisten : Menciptakan Guru-guru Prima yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang mutu pendidikan

Pernahkah Anda membaca atau mendengar kisah Liliput? Kisah tentang seorang pria Liliput yang ingin menggelindingkan    sebuah batu ke puncak bukit. Namun batu itu tidak pernah sampai ke puncak. Begitulah kisah tentang sistem pendidikan Indonesia. Ganti rezim ganti sistem, ganti menteri ganti kebijakan. Selalu dimulai dari awal lagi. Kebanyakan kandas di tengah jalan.
Pemerintah reformasi sudah mengganti kurikulum SD-SMP-SMA-SMK dari CBSA 1994 (Cara Belajar Siswa Aktif) ke KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Tidak hanya kurikulum yang selalu berubah. Nama departemennya pun berubah sesuai selera rezim yang berkuasa. Di zaman Orla: Departemen Pendidikan dan Pengajaran, Orba: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan Orref: Departemen Pendidikan Nasional. Pergantian nama membawa perubahan sistem dan substansi pendidikan.
Mata pelajaran yang elementer pun sering jadi korban. Misalnya, mata pelajaran Kebangsaan (Civic), Sejarah Nasional, Kebudayaan Nasional dan Budi Pekerti, dewasa ini tidak ditemukan lagi. Semestinya mata pelajaran tersebut dipertahankan untuk memelihara kesadaran berbangsa bagi setiap generasi baru Indonesia.Dewasa ini, Departemen Pendidikan Nasional—muara dari sistem pendidikan bangsa—berencana merevisi KBK atau Kurikulum 2004.    Kurikulum reformasi ini diterapkan tidak lama setelah Bambang Sudibyo ditunjuk sebagai Mendiknas. KBK sudah diuji coba di sejumlah sekolah. Kurang berhasil.
Karena itu, UU Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan pembentukan Badan Standardisasi Pendidikan Nasional (BSPN) untuk merevisi KBK agar bisa diterapkan di sekolah-sekolah pemerintah dan swasta di seluruh Indonesia. KBK memuat 16 mata pelajaran dengan jam belajar lebih dari 1.000 jam setahun. Langkah pertama pimpinan BSPN Prof. Dr. Bambang Suhendro adalah memangkas jam belajar mengajar—SD cukup 35 menit, SMP 40 menit, sedangkan SMA dan SMK 45 menit per mata pelajaran.
Saat ini memang anak-anak kelebihan muatan, selain materi pelajarannya terlampau rumit, juga terlalu banyak (16 mata pelajaran). Tentu orang tua sangat terbeban karena harus membeli banyak buku dan keperluan lainnya.
Apa pun bentuk kurikulum atau perubahan yang dilakukan oleh pemerintah, guru tetap menempati posisi sentral untuk pencapaian tingkat kecerdasan anak didik. Namun citra guru yang seharusnya kompeten dan berwibawa, terkikis oleh rendahnya pendapatan dan kesejahteraan mereka. Sedangkan guru menjadi barometer maju atau mundurnya mutu pendidikan. Paling tidak, ada lima varian untuk memperoleh guru yang benar-benar prima; dedikasi, tingkat kesejahteraan, kompetensi dan sistem pengangkatan.
Seorang guru harus memiliki dedikasi tinggi pada tugas utamanya. Karena itu gaji dan tunjangan kesejahteraannya harus mencukupi kebutuhan layak, sehingga dia tidak bekerja sambilan yang bisa mengganggu konsentrasinya mengajar. Dia sendiri harus memiliki kompetensi jika ingin menghasilkan anak didik yang kompeten.  Dan dalam pengangkatan seorang guru harus benar-benar obyektif, berdasarkan jurusan pendidikan dan kompetensinya—bukan lantaran koneksi, apalagi sogokan.
Pada era 1950-an, guru sekolah rakyat (SR) harus datang ke sawah atau ladang untuk menggiring murid masuk sekolah. Karena, pada musim tanam dan panen padi banyak kelas yang kosong. Kilas balik ini hanya untuk menggambarkan betapa besarnya pengabdian guru, dan betapa rendahnya kesadaran orang tua, meskipun sekolah serba gratis.
Sekarang, sebagian besar guru di kota punya pekerjaan sampingan, memberi les privat atau mengajar rangkap di sekolah-sekolah lain, bahkan ada yang jadi tukang ojek. Guru di desa juga bekerja sambilan sebagai tukang ojek, petani atau pedagang. Mereka tidak meneladani para pendahulunya. Pengabdian guru rendah, tetapi orang tua murid punya kesadaran sangat tinggi untuk menyekolahkan anak mereka. Kendalanya, tingginya biaya pendidikan yang tak terjangkau oleh kantong mereka. Dampaknya, sama saja antara dulu dan sekarang—banyak anak usia sekolah yang tidak menikmati bangku sekolah atau keluar dari sekolah sebelum waktunya.
Idealnya, negara menanggung biaya pendidikan anak-anak dari SD sampai SMA. Kebijakan ini bisa menjembatani jurang ketidakadilan di sektor pendidikan. Karena hanya anak-anak keluarga kaya yang bisa mencapai pendidikan setinggi-tingginya. Sedangkan anak-anak keluarga miskin, paling tinggi tamat SMP, kebanyakan tamat SD.
Belum lama ini, tersebar berita gembira. Ada kesepakatan antara pemerintah pusat dan daerah—provinsi, kabupaten dan kota—untuk bersama-sama menanggung biaya pendidikan, paling tidak, dari SD sampai SMA dan SMK. Tetapi yang perlu diawasi oleh pemerintah dan DPR agar pendidikan benar-benar gratis. Jangan lagi ada alasan untuk mengenakan berbagai pungutan kepada orang tua murid.
Kalau ingin memperbaiki mutu pendidikan, pemerintah, paling tidak, harus memperhatikan empat hal: ciptakan guru-guru yang prima, batasi jumlah siswa, paling banyak, 20 per kelas, kurangi jam belajar, cukupi sarana dan prasarana. Tetapi pemerintah sendiri harus konsisten berpegang pada sistem pendidikan yang berkesinambungan. (Berita Indonesia 13)***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar